KABAR LUWUK, POSO – Kabar kematian dua petani di Dusun Sipatuo, Desa Kilo, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso, pada Selasa, 2 Juni 2020, membuat situasi sempat mencekam. Syarifudin (25) dan Firman (17) ditemukan tewas dengan sejumlah luka tembak usai memanen kopi di kebunnya. Sebelumnya, pada, Kamis, 9 April 2020, Qidam Alfariski Mofance (20) juga ditemukan tewas dengan sejumlah luka tembak dan luka tusuk di belakang Markas Polisi Sektor (Mapolsek) Poso Pesisir Utara. Mereka diduga merupakan korban salah tembak aparat Satuan Petugas (Satgas) Tinombala.
“Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, upaya kami selama ini merajut kedamaian di Poso seringkali tidak berarti, karena aparat keamanan lebih memilih tindakan represif dalam setiap aksi,” ujar Evi Tampakatu, seorang pegiat literasi di komunitas Kandepe Topilenja Poso.
Peristiwa konflik Poso pada 1998 kembali membayang dalam benaknya. Kendati sudah dua dekade, ingatan kematian sanak saudara, sahabat dan sejawat masih terekam jelas dan sulit untuk dilupakan. Bunyi tiang listrik ditabuh, pertanda akan adanya saling serang antar warga berbeda keyakinan, terus mengiang dalam telinganya. Akankah Poso selamanya seperti ini? Nilai “Sintuwu Maroso” yang berarti bersatu kita teguh sudah tercabik-cabik lantaran kepentingan sejumlah pihak. Sintuwu Maroso dalam bahasa setempat berarti ikatan persaudaraan yang kuat, yang memiliki makna bersatu kita teguh.
Sewindu lamanya konflik di Poso berkecamuk. Puncaknya pada 2006, dua kelompok berbeda keyakinan, Islam dan Kristen, saling bunuh. Sebanyak 577 jiwa meninggal, sedangkan kerugian materiilmeliputi 7.932 rumah penduduk terbakar, 1.378 rusak berat, 690 rusak ringan. Sementara itu 27 masjid, 55 gereja dan satu pura terbakar. Kerugian materil lainnya berupa 239 kendaraan ikut terbakar. Tragedi ini mengakibatkan kondisi sosial, ekonomi dan politik di Poso porak-poranda. Hampir 27 ribu warga mengungsi menyelamatkan diri ke Palu, Makassar dan Manado.
“Kita tidak bisa berdiam diri menunggu negara bergerak, harus ada langkah merajut kembali benang “Sintuwu Maroso” yang sempat terkoyak. Mana nilai “Baruga” yang berarti musyawarah mufakat dalam setiap pengambilan keputusan? Maukah permasalahan selamanya diselesaikan dengan pertumpahan darah? Trauma ini akan terus membekas hingga generasi mendatang jika kita tidak memulai perdamaian,” tutur perempuan berusia 44 tahun ini kepada sejumlah muda-mudi Kecamatan Tegal Rejo, Poso, pasca tiga siswi ditemukan meninggal dalam keadaan dimutilasi, 30 Oktober 2005.
Sejak saat itu, Ia bersama rekan-rekannya merintis jalan perdamaian lewat sebuah kelompok kecil yang terdiri dari para pemuda Tegal Rejo yang bergerak di lintas suku, agama, ras dan antargolongan. Tujuannya satu, agar Poso kembali aman dan damai. Lembaga Penguatan Masyarakat Sipil (LPMS) Poso adalah salah satu organisasi yang kemudian ditekuninya. Di sini, Ia kemudian mendapatkan tugas mendampingi sejumlah bekas pelaku kelompok ekstrem agar tidak lagi menjadi perusuh. Tempat tugasnya meliputi wilayah perkotaan Kabupaten Poso.
Pada suatu ketika, Evi diminta menemani seorang rekannya yang mendapat tugas pendampingan eks perusuh di wilayah Dusun Ratalemba, Desa Masani, Kecamatan Poso Pesisir. Daerah ini, kemudian terkenal dengan sebutan Tamanjeka. Dusun ini berjarak sekitar 22 Kilometer dari ibu kota Kabupaten Poso. Dusun ini menjadi terkenal sebagai pusat pergerakan kelompok ekstrem pimpinan Santoso. Tercatat ada enam anggota pimpinan Santoso ini yang kemudian jadi bagian pendampingan LPMS Poso di tempat itu.
Santoso adalah seorang militan Islam Indonesia. Pemimpin Mujahidin Indonesia Timur, sebuah kelompok ekstrem yang seringkali membuat rusuh wilayah Poso. Ia masuk daftar teroris paling dicari oleh aparat keamanan di Indonesia. Pada 18 Juli 2016, Abu Wardah atau Syekh Abu Wardah nama lain Santoso meninggal dalam sebuah kontak senjata.
Selama dua jam, Evi bersama rekannya menempuh perjalanan berliku, berbukit dan berbatu dengan sepeda motor. Lokasi dusun terletak di kaki gunung biru yang konon menyimpan sejuta misteri. Ia juga jadi surga pelarian kelompok ekstrem saat dikejar aparat keamanan. Saat memasuki desa, hawa sejuk menyambut kami. Aneka tanaman sayur-mayur tumbuh subur di tempat ini. Sayangnya dusun berpenduduk kurang lebih 77 kepala keluarga ini malah jadi daerah operasi militer. Terdapat sejumlah pos pengamanan dengan puluhan personil tentara dan kepolisian bersenjata lengkap.
Salah satu pos pengamanan berdiri tepat di depan Sekolah Dasar. Tentara menjajar senjata laras panjang di depan sekolah yang dibangun dari material kayu itu. Hal ini membuat miris hati Evi. Ia membayangkan, rasa takut anak-anak melihat persenjataan mengarah pada mereka.
“Harus ada yang saya perbuat, agar anak-anak yang ada di tempat itu tidak merasa trauma, mungkinkah penyediaan bahan bacaan melalui taman baca dapat mengalihkan perhatian anak-anak ini?,” batin Evi.
Saat kembali ke ibu kota kabupaten, ide pembuatan taman baca lalu ia sampaikan kepada direktur LPMS Poso. Gayung bersambut, Idenya disetujui. Ia, kemudian mengumpulkan bahan bacaan sedikit demi sedikit.
“Buku-buku itu lalu kita bawa ke sana dan bersyukur mendapat apresiasi. Anak-anak betah membaca di tempat itu, dua pekan sekali buku kita ganti, anak yang tidak bisa membaca kita minta warga di sana untuk membacakannya,” lanjut Evi yang kini bekerja sebagai Satgas Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) juga Koordinator Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) Poso.
Hingga kini upaya menyuarakan keberagaman, perlindungan perempuan dan anak serta pendamping sejumlah kasus kekerasan melalui pendekatan humanis berbasis komunitas di wilayahnya terus dilakukan. Bersama sang adik, Agus Saleh Tampakatu, dan sejumlah rekannya di Komunitas Literasi Kandepe Topilenja, mereka terus bergerak menyemai pesan damai melalui buku.
Represif bukan pilihan
Konflik berujung kekerasan di Poso, Sulawesi Tengah tidak terjadi begitu saja. Banyak persoalan yang melatarbelakanginya. Salah satunya adalah politik setempat yang kemudian menyeret empati komunal dan melahirkan kekerasan baru. Lemahnya penanganan masalah dan tindakan represif aparat keamanan juga memberi sumbangsih berujung konflik di kota tertua di Sulawesi Tengah ini.
Pembentukan tim rekonsiliasi baik di tingkat kabupaten maupun provinsi seringkali menemui jalan buntu. Masyarakat yang kala itu sudah kadung merasa dicederai lebih percaya penyelesaian masalah dengan senjata lebih efektif ketimbang kata-kata. Sehingga pertikaian demi pertikaian terus saja terjadi.
Jafar G Bua, jurnalis senior yang juga pemerhati persoalan Poso menyebutkan, langkah represif aparat keamanan menyelesaikan masalah bisa diibaratkan seperti memukul air dalam tempayan. Hasilnya bisa dipastikan akan ada perlawanan-perlawanan kelompok tertentu. Ia mencatat ada puluhan bahkan ratusan kejadian berujung kematian yang awalnya diprovokasi oleh aparat keamanan di Poso.
“Persoalan Poso tidaklah sesederhana anggapan orang luar karena apa yang terjadi merupakan multidimensional dimana sentimen agama lebih mengemuka dan hal ini tidak bisa ditutup-tutupi. Padahal sebelumnya masyarakat muslim di Poso tidak pernah mempersoalkan ketika dipimpin oleh bupati beragama Kristen demikian sebaliknya. Peran aparat juga menambah beban menciptakan perdamaian karena upaya represif yang lebih diutamakan,” ujar Jafar G Bua.
Upaya menciptakan situasi keamanan dan ketertiban di wilayah Kabupaten Poso terus dilakukan aparat Kepolisian. Tidak saja pada sektor keamanan, tetapi Polisi juga melibatkan instansi terkait juga komunitas yang ada di sana dalam menyampaikan pesan damai.
“Upaya evaluasi terus kita lakukan, penanganan Poso tidak bisa Polisi yang bekerja sendiri, tetapi melibatkan banyak pihak. Pastinya kita terus melakukan evaluasi dengan harapan dapat mewujudkan keamanan dan perdamaian di sana,” kata Komisaris Besar Polisi Didik, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Sulteng.
Proses rekonsiliasi dan rehabilitasi pasca konflik di wilayah Kabupaten Poso dinilai Solidaritas Korban Pelanggaran HAM (SKP HAM) Sulawesi Tengah masih jauh dari harapan, bahkan hingga kini terkesan jalan di tempat. Ini karena cara berpikir pemerintah belum sejalan dengan cara berpikir masyarakat. Sehingga ada kesan negara tidak melibatkan masyarakat atau komunitas-komunitas yang ada di wilayah itu.
Menurut Nurlaela Lamasitudju, Sekretaris Jenderal SKP HAM Sulteng, apa yang terjadi di Poso saat ini adalah akumulasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Termasuk penanganan rekonsiliasi dan rehabilitasi yang dilakukan aparat kepolisian, sehingga akhirnya terjadi pergeseran dimana aparat kemudian menjadi sasaran kemarahan.
“Seharusnya pemerintah terus mengevaluasi diri termasuk mempertanyakan mengapa kemarahan itu kemudian dilampiaskan kepada aparat keamanan. Susahnya itu ketika negara berpikir dengan caranya sendiri, masyarakat berpikiran sendiri maka tidak akan searah. Padahal seharusnya dievaluasi apa yang selama ini sudah dilakukan, mengapa kemudian masyarakat marah,” kata Nurlaela.
Satu rencana besar Nurlela bersama sejawatnya dalam SKP HAM Sulteng, yakni membuat penilaian detail berupa penelitian dampak psikologis pasca 22 tahun konflik Poso terhadap warga dan juga pemerintah. Katanya, penanganan komprehensif tidak bisa dilakukan jika hanya melihat dari satu sektor. Misal hanya melihat dari masyarakat tapi tidak melihat dari pemerintah dan aparat negara yang ada.
“Minimal hasil penelitian itu nanti bisa memulihkan rasa percaya masyarakat, karena yang dirusak akibat konflik Poso itu rasa percaya antara orang bersaudara Islam dan Kristen,” katanya, Walaupun, ia mengakui cara Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sekarang sudah mulai lebih baik dengan turun dan datang menemui para korban.
Ia berharap, semoga ini menjadi metode yang terus direfleksi dan diperbaiki. Namun ada satu ketakutan yakni adanya ego sektoral pihak yang terlibat dalam proses rekonsiliasi dan rehabilitasi.
“Saat ini yang bisa dilakukan masyarakat sipil jangan menunggu negara, tetapi tetap berkonsolidasi dengan mengkampanyekan poso aman, poso damai, dengan tidak terpancing isu apapun, dikonflikkan dengan cara apa saja. Masyarakat sipil yang hebat adalah ketika dia mampu mengenali situasi, oh kita ini sedang dikonflikkan dalam kepentingan tertentu,” ujarnya.
Selain itu, pendekatan represif sebenarnya bisa menyelesaikan perkara tapi sifatnya bukan sifat jangka panjang. Pendekatan represif harusnya dilaksanakan pada kebutuhan yang benar-benar mendesak. Akan tetapi itu pun harus memperhatikan konsistensi, hak-hak dan lainnya karena justru akan menimbulkan masalah. Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah yakni pemulihan melalui metode psikologi, di mana para para korban harus dipulihkan kesehatan atas rusaknya perilaku, pikiran dan perasaan mereka.
“Penanganan permasalahan yang terjadi di Poso saya melihat, sejak pertama, pertengahan hingga akhir bahkan saat rekonsiliasi dan rehabilitasi masih juga dilakukan pendekatan kekerasan. Bahkan cenderung saya melihat ini sudah menuju abuse of power yang justru tidak menyelesaikan masalah. Bisa jadi pemulihan psikologi adalah jawaban menyelesaikan masalah di sana,” kata I Putu Ardika Yana, M.Psi Psikolog Klinis Palu, Sulawesi Tengah.
Jurnalisme damai
Pemberitaan konflik Poso secara berlebihan yang cenderung membesar-besarkan masalah dan provokatif serta tidak memberikan solusi juga berkontribusi terhadap buruknya situasi di Poso. Glorifikasi terhadap peristiwa kekerasan memicu perselisihan tiada akhir.
Media dalam publikasi sebaiknya menjadi bagian dari mencerdaskan masyarakat serta memberikan solusi-solusi penyelesaian masalah. Mempedomani kode etik dan kode perilaku dalam setiap upaya peliputan dan menyajikan berita merupakan bagian dari independensi dan jati diri seorang jurnalis yang senantiasa harus dijaga, dirawat dan dipupuk.
“Banyak dosa media yang secara tidak sadar dilakukan, akhirnya justru memperkeruh keadaan yang sudah mulai normal. Hanya saja terkadang aparat keamanan dan para pihak lainnya justru menginginkan apa yang terpublikasi sesuai harapan mereka, sehingga tidak jarang kemudian perusahaan media dan jurnalis berhadap-hadapan dengan aparat di lapangan,” ucap Muhammad Iqbal, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu.
Ketua AJI Kota Palu ini sepakat, bahwa penyelesaian Poso harus diselesaikan dengan cara yang lebih baik yakni menanggalkan upaya represif dengan mengedepankan nilai kemanusiaan, pemberdayaan komunitas melibatkan para ahli dalam setiap tindakan.
Komunitas Kandepe Topelinja yang dikelola bersama sang adik serta pegiat lainnya kini semakin aktif, setiap akhir pekan mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya membuka “tenda baca”, yakni tempat membaca buku di areal terbuka yang digelar menggunakan terpal sebagai alas.
Tidak itu saja, komunitas ini kemudian memberdayakan perempuan sekitar dengan memberikan pelatihan pembuatan makanan khas daerah Poso termasuk membantu memasarkannya melalui jejaring media sosial. “Buku adalah jendela ilmu pengetahuan yang tak pernah kering sepanjang masa. Melalui buku saya berharap generasi penerus kita khususnya di Poso bisa melihat dunia. Cinta dan kasih adalah jembatan kedamaian” tutup Evi. ***
Penulis : Irwan K Basir
“Artikel ini didanai oleh Peace Journalism Fellowship Grant Harmoni yang diselenggarakan oleh Search for Common Ground Indonesia”